I.
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Berbicara tentang
pendidikan, maka kita membahas perkembangan peradaban manusia. Perkembangan
pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya
masyarakatnya. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami perkembangan
sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh
pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia. Tulisan ini akan
mendeskripsikan pendapat tentang arti pentingnya pendidikan bagi manusia, serta
sasaran pendidikan secara umum di Indonesia.
Dari
masa perkembangan peradaban kuno sampai munculnya abad pencerahan (renaisance) di Eropa, bidang pendidikan
mendapat tempat utama dan strategis dalam kehidupan pemerintahan. Tidak dapat
dipungkiri kapan filsafat modern dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai
sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15),
yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance yang artinya
lahir kembali. Dengan
bergulirnya zaman dan terus abad berganti abad yang diisi dengan berbagai macam
ragam filsafat sampai kepada abad ke-18 dan abad ke-20.
B.
Tujuan
1. Mengetahui apa itu filsafat pendidikan
2. Mengetahui filsuf-filsuf pendidikan abad
ke-20
3. Mengetahui tujuan pendidikan
II.
Pembahasan
Para
filsuf pendidikan lebih tertarik untuk menganalisa dan mengklarifikasi mengenai
konsep dan pertanyaan-pertanyaan yang berpusat pada pendidikan. Jauh sebelum
adanya filsuf pendidikan professional, filsuf dan pendidikan berdiskusi
mengenai pertanyaan seputar pendidikan. Bahwa apa maksud dan tujuan dari
pendidikan? Siapa yang akan didik? Haruskah pendidik dibedakan berdasarkan
kebutuhan alami atau kebiasaan? Dan apakah peran Negara dalam dunia edukasi?
2.1 Filsafat Pendidikan
Filsafat berusaha
memahami realitas secara menyeluruh, dengan menjelaskannya secara umum dan
sistematis. Begitu pula menurut Drs. Uyoh Sadulloh yang mengatakan bahwa
filsafat pendidikan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya
dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam memilih tujuan dan
kebijakan pendidikan.
Menurut Drijakara
(dalam Uyoh Sadulloh), pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam
lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah
dan ibu. Mereka bertanggung jawab untuk membantu, memanusiakan, membudayakan,
dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya.
2.2 Realita Pendidikan Abad ke-20
Masyarakat saat ini harus
menjawab pertanyaan, siapa
yang harus didik. Perdebatan besar kami adalah mengenai bagaimana masing-masing anak harus dididik, dan hari ini debat dipanaskan.
Banyak pendidik bersikeras bahwa semua anak harus memiliki pendidikan yang sama persis setidaknya sampai kelas dua belas. Lainnya, banyak
tradisi Deweyan. Berpendapat
bahwa pendidikan harus disesuaikan
sedekat mungkin dengan minat dan kebutuhan masing-masing
anak.
Perhatikan, misalnya masalah
yang populer saat ini adalah sekolah pilihan yang menetapkan sebuah
sistem voucher. Orang tua diberi voucher senilai jumlah yang telah
ditentukan, katakanlah $ 5.000, untuk biaya di sekolah pilihan mereka. Kita kembali ke pertanyaan abadi, apakah semua anak harus
menerima pendidikan yang sama, apakah orang tua harus memiliki beberapa kontrol
atas pendidikan anak-anak mereka (berapa banyak), dan apakah hak untuk mengontrol
pendidikan harus dibatasi untuk mereka yang mampu membayar untuk jenis pendidikan
yang mereka inginkan.
Kita bisa melihat bagaimana analisis
filosofis mungkin berguna dalam mengidentifikasi dan menjelaskan masalah dasar.
Kita mungkin
bisa memutuskan dengan uji empiris apakah orang tua yang menyediakan sendiri peluang
tersebut lebih puas daripada mereka yang tanpa voucher. Kita bahkan mungkin
dapat menilai apakah sekolah dengan banyak siswa bervoucher puas melakukan pekerjaan yang lebih baik pada
langkah-langkah tertentu daripada yang mereka lakukan sebelum mereka menjadi sekolah
voucher. Jika voucher menyebabkan
bentuk Balkanisasi budaya masing-masing sekte dan subkultur reigningin komunitas
sekolah sendiri ini hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan?
Ini adalah jenis pertanyaan yang menarik untuk filsuf pendidikan. Beberapa dari mereka telah ada sejak zaman Socrates.
Anda harus bertanya pada
diri Anda sendiri bagaimana pertanyaan
abadi berubah sesuai dengan konteks di
mana mereka diminta, bagaimana
pertanyaan-pertanyaan lama mati pergi meninggalkan pertanyaan
yang sama, dan bagaimana pertanyaan-pertanyaan
baru yang dihasilkan oleh jawaban
yang lama.
Filsafat pendidikan
berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkan dengan
konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam memilih tujuan dan
kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama filsafat mengkoordinasikan hasil-hasil
penemuan sains yang berlainan dan berbeda-beda, maka filsafat pendidikan
menafsirkan enemuan-penemuan tersebut berkaitan dengan pendidikan.
2.3 Beberapa Ahli Filsafat
Pendidikan
1.
Socrates
Bagi
dia filosofi bukan isi, bukan hasil bukan ajaran yang berdasarkan dogma
melainkan fungsi yang hidup. Disini berlainan pendapatnya dengan guru-guru
sophis yang mengajarkan bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi
dengan pendirian yang skeptic, Socrates berpendapat bahwa kebenaran itu tetap
dan harus dicari.
Dalam
mencari kebenaran ia tidak memikir sendiri melainkan setiap kali ia berdua
dengan orang lain dengan jalan tanya jawab dan metodenya disebut maieutik.
Menguraikan seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak.
Metode pembelajaran Socrates lebih dikenal dengan berpikir kritis. Namun
diskusi yang tak memiliki akhir dan kesimpulan dan lebih cocok untuk pemecahan
masalah. Manfaat metode ini adalah membuat orang selalu berpikir kritis.
2.
Plato
Pendidikan ditujukan kepada idelanya negara itu seperti
apa. Jadi, pendidikan disesuaikan dengan tujuan negara. Seperti apa yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yang tersirat bahwa negara
Indonesia menginginkan kita cerdas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Beliau setuju dengan aktualisasi diri. Orang yang telah beraktualisasi diri
menurut Masslow yaitu orang yang telah berhasil memenuhi empat kebutuhan dan
tidak bermaksud meminta pujian. Empat kebutuhan itu ialah kebutuhan dasar,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki atau mencintai, dan harga
diri.
3.
Aristoteles
Aristoles
setuju dengan pendapat gurunya, Plato bahwa manusia harus dididik dan dilatih
agar ia berkembang sesuai dengan kondisi hidupnya. Filsafat sebagai refleksi
dari pemikiran sistematis manusia atas realitas dan sekitarnya, tentunya tidak
berdiri sendiri, tidak tumbuh diruang dan tempat yang kosong. Lingkungan
keluarga, sosial alam dan potensi diri akan ikut mempengaruhi seseorang dalam
melakukan refleksi filosofis. Oleh karenanya dalam sejarah pemikiran manusia
terdapat tokoh pemikir ataupun filosof yang selalu saja muncul dari zaman ke
zaman dengan tema yang berbeda-beda.
4.
Rousseau
Rousseau berpendapat bahwa manusia mempunyai keadaan alamiah
atau keadaan asli dalam dirinya sebagai suatu individu yang bebas atau merdeka
tanpa adanya suatu intervensi atau paksaan dari manapun. meskipun mempunyai
kebebasan yang mutlak, manusia tidak ingin atau memiliki keinginan untuk
menaklukan sesamanya karena manusia alamiah bersifat tidak baik maupun tidak
buruk. Mereka hanya mencintai dirinya sendiri secara spontan dan berusaha untuk
menjaga keselamatan dirinya dan memuaskan keinginan manusiawinya. .
Menurut Rousseau, manusia abad pencerahan sudah mengubah dirinya
menjadi manusia rasional. manusia rational hanya mementingkan factor material
untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Faktor-faktor non-materail berupa perasaan
dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya
bergerak menurut rasionya saja.
Abad Pencerahan menurut Rousseau adalah abad pesimisme
total. Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan
dekadensi moral dan budaya .Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga
terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia ,
baik itu alam maupun manusianya sendiri. Oleh sebab itu, Rousseau berpikir
bahwa manusia seharusnya kembali pada kehidupannya yang alamiah yang memiliki
emosi dan perasaan untuk mencegah dan terhindar dari kehancuran total.
Pemikiran ini menjadi cikal bakal dari aliran Romantisme yang berkembang di Eropa
.
5.
Pestalozzi
Metode yang diangkat oleh Pestalozzi
disebut Pestalozianisme yaitu metode yang coba mengangkat perbedaan individual
dan menstimulasi aktivitas diri si anak. Metode ini dapat dicapai lewat
kegiatan menggambar, menyanyi, latihan fisik dan berkelompok.Tujuan pendidikan
menurut Pestalozzi adalah modern civilization. Khususnya pembebasan
diri dari kekusutan persepsi diri, hal-hal yang tidak berguna, pengetahuan, ambisi
untuk memperoleh kebahagiaan.
6. Frobel
Frobel adalah bapaknya Paud (kinder garten). Ia dipengaruhi oleh
Rosseau, bahwa taman kanak-kanak itu diibaratkan taman tempat anak tumbuh dan
berkembang. Frobel ingin anak-anak memegang objek, mengamati bentuk. Jadi anak
terlibat aktif dalam proses belajar.
2.4 Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan
merupakan gambaran dari filsafat atau pandangan hidup manusia, baik secara
perseorangan maupun kelompok. Tujuan pendidikan harus mengandung tiga nilai.
1. Autonomy
(berdikari)
Memberikan kesadaran, pengetahuan,
dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup
mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
2. Equiti
(keadilan)
Bahwa tujuan pendidikan tersebut
harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberinya
pendidikan dasar yang sama.
3. Survival
(bertahan hidup)
Bahwa dengan pendidikan akan
menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
2.5 Peran Negara dalam Dunia Pendidikan
Setiap warga negara di Indonesia berhak menikmati pendidikan
agar kelak menjadi seorang manusia yang cerdas dan berguna untuk bangsanya.
Sungguh sebuah cita-cita mulia yang dulu diperjuangkan oleh para pejuang
kemerdekaan kita dahulu.
Dari sini juga kita bisa mengerti mengapa para pejuang
kemerdekaan kita menempatkan pendidikan sebagai suatu yang penting bagi suatu
negara. Karena pendidikan memang merupakan cermin kualitas peradaban di suatu
bangsa. Bahkan kini di lingkungan masyarakat pendidikan juga menjadi sebuah
tolak ukur tentang kehidupan dan tingkah laku seseorang. Jika seseorang
melakukan tindak kriminal seperti perampokan, pencurian dll, maka dengan mudah
nya orang akan membuat anggapan bahwa orang yang melakukan tindakan kriminal
itu tak memiliki pendidikan atau berpendidikan rendah. Meski anggapan ini tidak
sepenuhnya benar, tapi kita tak bisa menafikan jika tingginya tingkatnya
kriminalitas juga diikuti dengan rendahnya tingkat pendidikan yang diterima
rakyat miskin.
Para pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka
dan Ki Hajar Dewantara mungkin juga tak akan mengira jika cita-citanya
menjadikan manusia Indonesia yang cerdas kini sangat sulit diwujudkan oleh
penerusnya. Tak ada lagi sekolah-sekolah rakyat yang dulu dibuat oleh Tan
Malaka dan Ki Hadjar Dewantara untuk warga pribumi yang miskin agar mampu
mengakses pendidikan. Mungkin para pejuang revolusi kemerdekaan kita akan
menangis jika melihat semua orang mencibir sekolah-sekolah murah yang dianggap
tak memiliki kualitas. Karena pendidikan hanya diperuntukan untuk para orang
yang mampu saja.
Daftar Pustaka
Sadulloh, Uyah. 2012. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta:
Alfabeta
Nodding, Nel. 2012. Philosophy of Education. Colorado: Westviem Press
http://lmnd-jakarta.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar